Friday 3 December 2010

Seks Jawa vs Seks Bugis (2)

SETIAP kali melihat tarian Jawa, saya selalu terkesiap menyaksikan kelembutan dan kesantunan gerak tari. Saya selalu mengagumi pakaian penari berupa kemben dengan bahu terbuka. Bagi saya, pakaian itu lahir dari dialog-dialog kebudayaan antara tradisi Jawa dan Islam. Saya juga mengagumi gerakan tari yang gemulai itu. Amat lembut, namun sesekali menghentak. Saat beberapa waktu lalu menyaksikan tari Bedhaya Ketawang di Surakarta, saya selalu menikmati saat-saat ketika sang penari melirik ke arah penonton.

Pada mulanya, saya memperhatikan gadis yang berkulit putih bersih dan menawan. Namun ketika seorang penari –yang justru tidak begitu cantik—melirik ke arahku, saya langsung berdebar-debar. Sungguh, saya sangat menikmati lirikan-lirikan tersebut. Saya jadi fokus memperhatikannya. Ketika mata saya bertemu dengan mata penari itu, ia tiba-tiba menunduk. Duh…. Saya seolah tersengat listrik. Saya langsung jatuh cinta.

Saya lalu ke balik panggung dan menemui penari itu. Ia menatap saya dengan malu-malu. Suaranya pelan. Kultur Sulawesi saya seakan berontak. Saya ingin berbicara tergesa-gesa. Kalau perlu langsung menyatakan cinta dan ngajak pacaran. Namun menyaksikan wajah yang manis, sorot mata yang lembut namun tajam, tutur kata yang terjaga, serta senyum tertahan, membuat saya kehilangan kata-kata. Ketika gadis itu menyapa dengan pelan, kaki saya gemetaran. Saya takluk pada semua pesona yang dipancarkannya.

Saya memahami bahwa kebudayaan adalah medan pertarungan makna. Dalam hal Jawa, kebudayaan terletak pada tindakan-tindakan bermakna yang lahir dari proses sejarah serta ditransmisikan dari generasi ke generasi. Kebudayaan Jawa dicirikan oleh identitas manusia-manusia Jawa yang lahir melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari (everyday life). Identitas kejawaan adalah sesuatu yang dipilih manusia Jawa kemudian dipahami dalam relasinya dengan manusia lain dalam satu semesta.


Pada hari ketika saya bersua perempuan Jawa itu, saya tiba-tiba mengamini pendapat sastrawan Seno Gumira Adjidarma bahwa identitas seksi perempuan Jawa tidak terletak pada tubuh yang bersih serta pinggul yang aduhai. Keseksian perempuan Jawa justru terletak pada tutur kata yang lembut, mata yang melirik penuh makna, serta gerak-gerik yang menunjukkan prilaku yang priyayi dan terpelajar. Inilah yang disebut kebudayaan.

Namun, sebagai seorang luar Jawa, saya kadang bertanya-tanya. Jika seorang perempuan yang dibesarkan dalam kultur Jawa bertutur dengan demikian lembut dan terjaga, bagaimanakah sikap mereka ketika membahas seksualitas? Apakah mereka akan bersikap malu dan membicarakannya dengan kalimat yang juga terjaga?

Kitab Seks Jawa

Hingga beberapa waktu, saya banyak menanyakan pertanyaan di atas. Namun setelah membaca beberapa bagian dari naskah Serat Centhini, saya harus menyusun ulang semua konsep yang saya bangun tentang Jawa. Saya terkagum-kagum dengan Serat Centhini. Ini adalah kitab seks yang luar biasa dan menunjukkan sejauh mana pengetahuan dan pendalaman tentang seks. Membaca kitab ini, saya jadi mengagumi karya emas bangsa sendiri pada masa silam. Selama ini kita selalu mendewa-dewakan kitab seks dari luar. Padahal di negeri kita sendiri justru terdapat sebuah kitab seks yang tidak saja berisi petunjuk tentang tipe perempuan, pesona seorang perempuan, posisi-posisi hubungan seks, hingga rahasia-rahasia dan misteri hubungan seksual.

Serat Centhini adalah kitab seks yang setara dengan Ars Amatoria (The Art of Love) karya penyair Romawi, Publius Ovidius Naso (43 SM-17 M) atau Kama Sutra karya Vatsyayana dari India. Serat Centhini yang nama rresminya Suluk Tembangraras digubah pada abad ke-19, tepatnya tahun 1815 oleh tiga pujangga Istana Keraton Surakarta. Serat ini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) yang membahas masalah seks dan seksualitas. Sedemikian masyhurnya kitab seks ini sehingga seorang warga Perancis, Elizabeth D Inandiak, telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Perancis.

Lantas, apakah Serat Centhini juga mengiyakan pandangan tentang perempuan Jawa yang pemalu dan tabu membahas seksualitas? Ternyata, kitab ini justru amat blak-blakan ketika membahas seks. Seorang perempuan Jawa justru tidak selamanya pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotype terhadap Jawa yang tumbuh di luar. Mereka justru memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal, mereka selalu digambarkan pasrah kepada seorang lelaki.

Hal ini tampak dalam Centhini V (Dandanggula). Dalam serat ini diceritakan tentang dialog di ruang belakang rumah pengantin perempuan pada malam menjelang pernikahan antara Syekh Amongraga dan Nike Tembangraras. Para perempuan muda sedang duduk sambil mengobrol. Ada yang membicarakan pengalaman dinikahi lelaki berkali-kali, pengalaman malam pertama, serta masalah seksual lainnya, lalu tertawa cekikikan. Salah satu percakapan itu adalah: “Nyai Tengah menjawab sambil bertanya. Benar dugaanku Ni Daya. Dia memang sangat kesulitan. Napasnya tersengal. Saya batuk saja. Eh, lepas. Mudah sekali lepasnya. Tak pernah kukuh di tempatnya. Susahnya sangat terasa karena meski besar seakan mati…”

Kitab Seks Bugis

TAK hanya kebudayaan jawa yang melahirkan kitab seksual yakni Serat Centhini. Orang-orang Bugis juga membuat catatan-catatan tentang seks yang berjudul Assikalabineng atau Kitab Persetubuhan Bugis. Catatan-catatan itu dibuat dalam lontara’ dan dituliskan dengan aksara khas Bugis. Aksara ini menjadi satu penanda yang mencirikan kemajuan peradaban Bugis. Nenek moyang Bugis –yang terlahir sebagai turunan dewa-dewa-- telah mencipta aksara dan menjadikannya sebagai medium untuk menuliskan buah-buah pikirannya. Tatkala raja-raja Bugis bermunculan, mereka lalu menuliskan segenap pengetahuannya, termasuk pengetahuan tentang seks.

Catatan harian para raja tentang konsep seks tersebut, telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku berjudul Assikalabineng. Berbeda dengan Kama Sutra yang lebih mengedepankan pada teknik belaka, Assikalabineng lebih dari hal itu. Assikalabineng adalah kumpulan manuskrip Lontara asli yang dikumpulkan, diterjemahkan, lalu diolah oleh filolog lontara dari Univeritas Hasanuddin (Unhas), Muhlis Hadrawi, menjadi bacaan dan pengetahuan yang siap dipraktikkan. Di bagian awal buku, penulis menyebutkan ada 44 naskah Lontara yang dipakai sebagai rujukan utama. Sebanyak 28 teks beraksara Bugis dan 16 sisanya manuskrip lontara Makassar. "Aksaranya macam-macam, ada sulapa eppa, serang, dan jangang-jangang." Tak mengherankan, tips, trik, sekaligus mantra yang disajikan pun bervariasi, namun pada intinya sama, dan menyesuaikan dengan kultur Bugis pesisir atau Makassar pedalaman.

Assikabineng berisikan pengetahuan yang mendalam tentang organ genital dan alat reproduksi, filosofi seks, teknik penetrasi, sentuhan bagian sensitif, penentuan jenis kelamin, pengendalian kehamilan, serta waktu baik untuk berhubungan intim, juga terangkum di dalamnya. Tak hanya itu, juga terdapat pengetahuan cara membuat tubuh istri tetap seksi dan berwajah cerah dengan menggunakan medium seks. Pengobatan alat kelamin pun dibahas dengan indah.

Lalu yang tak kalah menakjubkan dari kitab ini yakni betapa orang Bugis, terutama yang menguasai kitab ini, memahami dengan benar jenis-jenis organ genital wanita. Cara mengungkapkannya pun sangat simbolik dengan mengasosiasikannya dengan bunga yang cenderung mekar. Pada jenis tertentu ada yang disebut dengan bunga melati atau bunga sibollo.


 Membaca kitab ini telah membersitkan kesan pada diri saya bahwa seks bukan sekedar ritual penetrasi biologis demi menciptakan generasi. Seks mengandung makna filosofis yang bisa ditemukan melalui telaah atas makna-makna dalam ritual tersebut.

Kitab ini dituliskan pada masa ketika Islam masuk di jazirah Sulawesi. Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa Islam mengalami dialog cultural dengan tradisi Bugis. Di dalamnya juga terdapat interpretasi ajaran islam yang diperkaya dengan pengetahuan local. Islam tidak lantas menenggelamkan pengetahuan Bugis, namun terus memperkaya maknanya dan menjadi ruh yang menjadi intisari kebudayaan bugis. Makanya, assikalabineng jangan dilihat sebagai kitab petunjuk cara berhubungan seks sebagaimana Kama Sutra. Tak hanya berisi petunjuk melakukan hubungan seks, assikalabineng adalah filsafat untuk berhubungan seks, kemudian menyiapkan generasi terbaik. Bagi orang Bugis, seks adalah filsafat.

Butiran-Butiran Hikmah

Memang, tulisan ini terlampau singkat untuk membahas khasanah kebudayaan yang kaya. Tapi setidaknya, tulisan ini menjadi awal untuk memasuki tema yang luas tersebut. Dari berbagai turuan di atas, terselip beberapa butiran hikmah yang menarik untuk didiskusikan. Pertama, baik Serat Centhini maupun Assikalabineng merupakan khasanah kekayaan budaya yang dimiliki negeri ini. Keduanya adalah mutiara yang diwariskan generasi masa silam kepada generasi masa kini. Kedua kitab itu menyimpan butiran pengetahuan berharga yang masih bisa diterapkan pada konteks kekinian. Kitab itu juga menjadi isyarat bahwa seks bukan hanya daya-daya pelepas syahwat, namun seks adalah ibadah yang penting untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Seksualitas bukanlah hal yang tabu dibahas pada masa silam. Tapi seksualitas adalah ibadah yang mengawali proses penciptaan manusia sehingga harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.

Kedua, seksusalitas memang bukan sekedar hubungan yang sifatnya biologis. Seksualitas adalah bagian dari kebudayaan yang merupakan himpunan konsep dan pola-pola yang membentuk cara pandang serta penilaian kita atas sesuatu. Ketika saya menilai seseorang cantik, maka saat itu kebudayaan sedang bekerja. Cantik adalah sebuah konsep yang jelas-jelas dipengaruhi kebudayaan. Defenisi cantik sebagaimana yang saya yakini, tentunya berbeda dengan defenisi cantik menurut orang Afrika yang lebih memperhatikan tubuh yang gemuk. Setiap ragam budaya menciptakan defenisinya sendiri-sendiri tentang makna kecantikan. Demikian pula dengan makna seksualitas.

Ketiga, pengetahuan tentang seks adalah pengetahuan yang sifatnya menyejarah. Pada beberapa kebudayaan, termasuk kebudayaan Jawa dan Bugis, seks adalah ritual suci yang dilihat sebagai ibadah. Dalam khasanah kebudayaan Jawa dan Bugis, seks adalah fiosofi tentang penciptaan generasi serta menjadi elemen penting yang kian menegaskan jati diri manusia sebagai mahluk yang selalu bergerak menggapai kesempurnaan. Dan seks adalah bagian dari gerak menuju kesempurnaan tersebut.(*)

Seks Jawa vs Seks Bugis (1)

Seks Jawa Vs Seks Bugis (1)

PERNAH sekali saya menyaksikan tarian sakral Bedhaya Ketawang di Surakarta, beberapa tahun yang lalu. Sembilan orang penari perempuan berwajah rupawan dibalut kain, rambutnya disanggul, dan tubuh bagian atas terbuka. Kulitnya kuning berkilau karena lulur. Mereka menari dengan gerakan yang pelan, namun sarat makna. Kata seorang kawan, para penari haruslah perawan dan tidak sedang menstruasi.

Mengapa harus perawan? Kata kawan itu, tarian ini punya makna yang sacral. Tarian ini hanya dipentaskan sekali sebagai perlambang cinta Nyi Roro Kidul kepada Raja Jawa. Konon, saat tarian ini dipentaskan, Nyi Roro Kidul selalu ikut menari. Ia hendak menyampaikan rasa cinta yang dahsyat kepada Raja Jawa. Ia meminta agar sang raja tetap menemaninya di dasar laut dan tidak usah kembali ke daratan. Menurut satu sumber, tari ini menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati (Sinuhun Paku Buwono X).

Segala gerak melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun menolak. Lalu terjadilah perjanjian atau sumpah sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan raja pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sumpahnya adalah semua Raja Jawa haruslah memperistri Ratu Kidul. Demikian asal usul tarian Bedhaya Ketawang.

Dalam satu tulisannya, budayawan Seno Gumira Adjidarma menyebut tarian ini amat sakral sekaligus penuh makna birahi dan seksualitas. Konon, berkembang anekdot. Para penari itu harus perawan, sebab raja akan memilih salah seorang untuk menemaninya tidur malam itu. Mungkin ini semacam candaan. Tapi yang menarik adalah bagaimana raja menentukan pilihan, apakah criteria seksualitas yang digunakan untuk memilih satu di antara sembilan penari itu? Atau, bagaimanakah menilai seksualitas dari para penari?

Kata Seno, seksualitasnya tidak terletak pada bagian tubuh yang terbuka. Melainkan pada bagian tubuh yang sesekali terbuka yakni lekuk kaki di antara tumit dan mata kaki, ketika kaki tersebut harus menyapukan kain yang tersisa. Perempuan yang lekuk kakinya dalam dianggap sensual, konon karena menunjukkan kemampuan permainan cintanya di atas ranjang. Semakin kurang lekuknya, semakin rendah daya tariknya dalam konteks seksualitas. Mungkin ini aneh. Tapi, kedalaman lekuk adalah ukuran. Pandangan ini tentu tidak ilmiah. Namun menjelaskan kepada kita bahwa seksualitas adalah sebuah pandangan yang dibentuk oleh cara kerja kebudayaan. Seks memang peristiwa ‘kimia’, namun makna seksualitas dan sensualitas adalah sesuatu yang dibentuk kebudayaan, merupakan pandangan yang lahir dari tafsir satu kebudayaan tertentu, dan mempengaruhi cara pandang seorang individu.


Saya sering memperhatikan perempuan Jawa yang sedang berkebaya dan sanggul. Sebagai orang luar Jawa, saya melihatnya biasa saja, tanpa tersengat reaksi kimia sebab saya tidak dibesarkan dalam tradisi tersebut. Tapi bagi seseorang yang besar dalam iklim konservatif Jawa, seorang ibu bersanggul dan berkain kebaya yang harum mewangi dalam kondangan kelas menengah atas tentu memancarkan aura sensualitas: kebaya yang menerawang, kain yang membungkus ketat sehingga bentuk tubuh lekuknya terpampang, belum lagi cara bicara tertata, tetapi pandangan mata bisa menyambar dan menggetarkan, adalah bagian dari permainan sensualitas.

Namun bagi seseorang yang dibesarkan dalam kebudayaan Dayak Kenyah, pastilah akan lain. Erotisisme nampak pada pakaian ta’a, serupa rok yang terbelah dari atas ke bawah di belakang. Para pria Dayak akan melihat rajah yang melingkar di paha dan kaki perempuan sebagai keindahan erotic. Rajah adalah tato yang dibuat khusus dalam sebuah ritual sacral. Dan rajah tersebut akan mempengaruhi erotisme atau seksualitas.

Kebudayaan Bugis


Lain halnya dengan masyarakat Bugis-Makassar. Sewaktu masih kecil, saya pernah menyaksikan tarian yang dipentaskan sejumlah gadis yang memakai baju bodo. Baju ini adalah baju yang berbentuk tipis dan nyaris transparan. Saya terkesiap saat melihat langsung bagaimana BH perempuan di balik baju bodo. Bagi perempuan Bugis, baju bodo adalah pakaian adat yang dikenakan pada berbagai upacara adat seperti perkawinan ataupun saat menari.

Dulunya, seorang perempuan yang mengenakan baju bodo, tidak mengenakan apapun di baliknya. Itu tercatat dari kesaksian seorang penjelajah bernama James Brooke yang mengunjungi Makassar pada tahun 1840. Ia mengatakan, “Perempuan [Bugis] mengenakan pakaian sederhana… Sehelai sarung [menutupi pinggang] hingga kaki dan baju tipis longgar dari kain muslin (kasa), memperlihatkan payudara dan leluk-lekuk dada.” Rupanya cara memakai baju bodo ini masih berlaku di tahun 1930-an. Buktinya, saya menemukan satu foto di situs Wikipedia yang menampilkan gambar seorang gadis Bugis pada tahun 1930-an, yang memakai baju bodo. Perhatikan bahwa ia tidak mengenakan apapun di baliknya.

Jika baju bodo sering dikenakan saat upacara adat, maka silakan tebak bagaimana perasaan lelaki yang menyaksikan tubuh perempuan. Apakah mereka juga terkesiap seperti saya? Ternyata tidak juga. Bagi sejumlah orang Bugis yang sempat saya tanyai, keseksian itu tidak terletak pada tubuh yang nampak di balik baju bodo. Justru karena seringnya tubuh itu terlihat, sehingga secara perlahan kehilangan keseksiannya. Konsepsi tentang tubuh tidak lagi penting sebab orang ingin melihat sesuatu di balik tubuh tersebut. Orang-orang lalu menemukan keseksian pada sejauh mana tuturan cerdas dari seorang perempuan.

Lagi-lagi ini adalah soal kebudayaan. Dalam catatan banyak peneliti, posisi perempuan menjadi simbol dari keunikan dari tradisi Bugis. Masyarakat Bugis tradisional mengijinkan perempuan menjadi pemimpin sehingga keseksian seorang perempuan dinilai dari sejauh mana kecerdasan dan kedalaman pengetahuannya atas sesuatu. Dalam karya klasik yang mendunia I La Galigo, disebutkan tentang sosok perempuan utama cerdas, We Nyilik Timo, yang mendampingi Batara Guru sebagai penguasa langit. Dalam I La Galigo juga terdapat sosok Sangiang Serri yang menjadi symbol dari kesuburan.

Sejak masa silam, kata antropolog Christian Pelras, di Bugis perbedaan gender dengan menempatkan perempuan sebagai second sex tak nampak. Posisi perempuan yang aktif di dunia social menyebabkan mereka tidak dilihat semata dari kecantikan dan sensualitas belaka. Lantas, jika kita tetap ngotot membahas kecantikan, apakah standar kecantikan bagi orang Bugis. Saya tak terlalu paham. Tapi, dalam salah satu naskah tradisional Lontara Se’bo (kitab Lubang), terdapat istilah mattappa’ cina (berwajah seperti orang Cina). Artinya, kriteria cantik adalah ketika bermata sipit dan berkulit putih.

Lesson Learned

Apa hikmah yang dipetik dari telaah atas seksualitas dalam berbagai kebudayaan itu? Pertama, seksualitas bukan semata aspek biologi. Selama ini, kita sering terjebak pada salah kaprah yang melihat sensualitas dan seksualitas hanyalah sekedar perkara hubungan biologis. Padahal, Seks adalah kebudayaan yang dikonstruksi secara kolektif oleh sebuah masyarakat, ditransmisikan secara turun-temurun dan menjadi pedoman yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam satu masyarakat. Latar belakang seseorang akan sangat mempengaruhi konsepsinya tentang seksualitas. Karena kebudayaan setiap orang berbeda-beda, maka nilai-nilai yang membentuk selera seksual setiap orang juga berbeda. Seks menjadi relatif.

Dalam hal tarian Bedhoyo Ketawang di atas, lekuk kaki bisa menjadi sesuatu yang memantik hasrat seksual bagi seorang lelaki Jawa. Demikian pula dengan kebaya ketat, sanggul, serta cara bertutur yang lemah-lembut. Bagi masyaraklat Dayak, rajah pada paha bisa menjadi daya tarik sesksual seorang perempuan. Sementara bagi masyarakat Bugis, tubuh yang seksi di balik baju bodo, serta kecerdasan saat bertutur adalah elemen-elemen yang membangkitkan hasrat dan gairah seorang perempuan.

Kedua, seks senantiasa mengandung aspek konstruksi kebudayaan yang di dalamnya juga terdapat medan kontestasi kepentingan dan negosiasi makna yang tak habis-habisnya. Dalam hal seks, konsep nikmat-tidak nikmat, konsep cantik-tidak cantik, dan lain-lain adalah konsep yang dibentuk oleh seseorang dan terus dimapankan dalam kebudayaan. Konsep ini dipengaruhi oleh latar belakang seseorang, serta bagaimana pandangannya atas sesuatu. Bahkan bagi seseorang yang dipengaruhi keagamaan yang kuat sekalipun akan melahirkan konsep sendiri yang terkait seksualitas.

Pada akhirnya, seks adalah aspek biologi yang kemudian dipengaruhi kebudayaan. Terserah bagaimana Anda menilainya.(*)